Tidak seperti ibadah lainnya, puasa memiliki keistimewaan. Semua amal
kebaikan manusia akan diberi pahala oleh Allah, secara berlipat dari 10
kali sampai 700 kali. Tetapi untuk puasa, salah satu hadist Qutsi
menyebutkan firman Allah:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
Allah swt ‘azza wa jalla berfirman: “Kecuali puasa karena ia untuk saya maka saya yang akan membalas untuknya
Kita ingat dalam Perang Badar, kaum muslimin dengan jumlah jauh lebih
sedikit, hanya sepertiga dari jumlah musuh, tetapi dengan pertolongan
Allah dapat memenangkan perang tersebut. Namun setelah perang, Nabi
Muhammad SAW menyatakan bahwa “kita baru saja meninggalkan sebuah perang
kecil, dan menuju sebuah perang yang besar”. Para Sahabat bertanya “apa
perang besar itu ya Rasullulah?” Beliau menjawab “Perang besar itu
adalah perang melawan hawa nafsu”.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan puasa. Selama puasa, kita
dilatih untuk menahan diri dari hal-hal yang menyenangkan. Makan, minum
dan hubungan seks di siang hari, itu hal-hal yang nampak nyata. Lebih
dari itu, kita juga menahan diri dari perbuatan yang sia-sia dan
kata-kata tidak berguna sebagaimana ciri orang-orang mukmin yang
memperoleh keuntungan:
وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
Puasa juga mencirikan usaha melatih kesabaran. Sabar menghadapi ujian
berpuasa itu sendiri, sekaligus sabar menghadapi berbagai masalah.
Puasa juga melatik ketajaman jiwa sosial, dengan memperbanyak sedekah
dan membayar zakat di akhir Ramadhan. Ketajaman itu diperoleh dengan
mengekang nafsu sekarah, mendorong semangat berbagi. Jadi intinya, puasa
adalah menahan hawa nafsu, dengan satu misi menjadi orang-orang yang
bertakwa.
Mungkin banyak juga ibadah lain dengan misi serupa. Tetapi
menariknya, dalam hal ini pun ibadah puasa tidak sama dengan ibadah yang
lain. Tidak ada yang tahu seberapa “kualitas” kita berpuasa. Hanya kita
sendiri dan Allah yang mengetahuinya. Artinya, dalam perang melawan
hawa nafsu itu, kita berperang sendirian.
Menarik untuk melihat kaitan kesendirian dalam berperang melawan hawa
nafsu selama puasa ini, dengan salah satu pitutur filosofi jawa. Ada
beberapa tafsir lain memang. Tetapi saya lebih suka menafsirkannya
seperti uraian berikut ini.
Disebutkan dalam Serat Wedhatama agar kita berpegang 4 pitutur (ajaran).
Pertama adalah “Nglurug tanpa bala”. Terkait dengan puasa, ini
menggambarkan “kesendirian kita dalam melawan hawa nafsu”.
Ada satu kisah menarik. Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa suatu
hari dia berjalan bersama Amirul Mukminin Umar bin Khattab dari Madinah
menuju Makkah. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan anak gembala.
Lalu timbul niat dalam hati Khalifah Umar untuk menguji sejauh mana
kejujuran dan keamanahan si anak gembala itu.
Maka, terjadilah dialog berikut ini (disarikan menurut arti):
Kalifah : ‘Wahai anak gembala, kambing siapa sebanyak ini?”
Anak : “Oh, ini milik tuanku”
Kalifah : “Apakah tuanmu tahu berapa jumlahnya, apakah ada yang sakit, apakah ada yang mati, apakah ada yang beranak dan seterusnya”
Anak : “Tidak, tuanku hanya mengetahui apa-apa tentang kambing itu dari laporanku”.
Kalifah : “Kalau begitu, bagaimana kalau kau jual kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!”
Kalifah : ‘Wahai anak gembala, kambing siapa sebanyak ini?”
Anak : “Oh, ini milik tuanku”
Kalifah : “Apakah tuanmu tahu berapa jumlahnya, apakah ada yang sakit, apakah ada yang mati, apakah ada yang beranak dan seterusnya”
Anak : “Tidak, tuanku hanya mengetahui apa-apa tentang kambing itu dari laporanku”.
Kalifah : “Kalau begitu, bagaimana kalau kau jual kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!”
Anak : “Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya”
Kalifah : “Atau kita sembelih saja, kita makan bersama-sama”
Anak : “Bagaimana kalau tuanku bertanya tentang kambing itu”
Kalifah : “Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala.”
Kalifah : “Atau kita sembelih saja, kita makan bersama-sama”
Anak : “Bagaimana kalau tuanku bertanya tentang kambing itu”
Kalifah : “Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala.”
Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin,
lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati Khalifah
Umar, ”Fa ainallah?” (Kurang lebih maknanya adalah, ”Jika Tuan menyuruh
saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah
Tuan tidak yakin bahwa siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?’
Subhanallah!
Boleh jadi, tidak ada orang yang tahu seberapa kualitas puasa kita. Mudah saja kita membohongi mereka. Tetapi bila kita nglurug tanpa bala
dengan keyakinan terus bertanya “Fa ainallah” maka kita pun akan yakin
bahwa Allah terus bersama kita dan melihat semua perbuatan kita:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌۭ
… dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan
… dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan
Keyakinan akan kebersamaan dengan Allah ini yang menjadi modal utama untuk berani nglurug tanpa bala. Sekaligus, menjadi teman yang senantiasa mengingatkan kita dari perbuatan menurutkan hawa nafsu ke hal-hal yang buruk.
Bila perang itu akhirnya kita menangkan, maka ajaran berikutnya menyatakan kita akan menang tanpa ngasorake (menang
tanpa mengalahkan). Mengalahkan hawa nafsu, tidak akan membuat kita
direndahkan. Justru akan semakin meningkat derajat diri kita. Dalam hal
puasa, kita akan makin mendekati derajat orang-orang yang bertakwa.
Selanjutnya, derajat itu akan berimplikasi pula ke ajaran berikutnya sugih tanpa bandha
(kaya tanpa harta). Ketakwaan akan membawa ke sifat tawakal hanya
kepada Allah. Sifat ini mendorong sikap untuk senantiasa bersyukur atas
apa yang telah dilimpahkan Allah. Tidak ada lagi dorongan untuk serakah.
Kita rajin berusaha, tetapi hasilnya diserahkan kepada kehendak Allah,
yang Maha Tahu yang terbaik bagi kita. Kita senantiasa bersyukur karena:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌۭ…
dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Sifat tawakal juga akan membawa kita ke ajaran ke empat yaitu sekti tanpa aji-aji
(sakti tanpa membawa senjata). Orang Jawa sering menyebutnya “pasrah
mring Pangeran”. Dengan tawakal, kita akan merasa senantiasa aman, tidak
penuh was-was dan prasangka negatif. Dengan tawakal kita tidak perlu
selalu merasa cemas. Dengan keyakinan telah melaksanakan sesuai
perintahnya, maka kita yakin Allah selalu bersama kita:
لَا تَحْزَنْ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَا…
Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS 9:40)
Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS 9:40)
Saya memandang kaitan berupa garis lurus antara ibadah puasa dengan 4
ajaran tersebut. Hubungan linier itu tergambar jelas. Ajaran dalam
filosofi jawa itu telah berumur panjang. Sebagai orang Jawa, kita sering
mendengarnya. Bahkan 4 ajaran itu pun tidak jarang tampil dalam wahana
dan diskursus nasional. Dan bagi saya, berpuasa sesuai ajaran Islam
maupun nilai-nilai ajaran filosofis tersebut, ternyata berada di jalur
yang sama. Bagi saya, inilah makna tersembunyi dari ujaran dalam tembang
Pangkur:
Mrih kretarto pakartining ngelmu luhung
Kang tumprap ing tanah Jawi
Agama ageming aji.
Kang tumprap ing tanah Jawi
Agama ageming aji.
Selamat meneruskan ibadah puasa, semoga meningkat derajat kita. Amin.a
Tidak ada komentar:
Posting Komentar